Indonesia 1991 lebih bijak dari Indonesia 2016 (Perbandingan Mazhab) oleh Dari Dr. Nadirsyah Hosen


Surat terbuka untuk alumni jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
Kawan,

Indonesia tahun 2016 ini berbeda dengan tahun 1991 ketika kita mulai masuk kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan belajar di jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Dulu kita asyik belajar dan berdiskusi berbagai pendapat ulama, bahkan yang di luar 4 mazhab. Tidak ada yang kafir-mengkafirkan, apalagi sampai berujung kekerasan. Kita hanya tertawa geli membaca sejumlah pendapat yang terasa ganjil dan syadz. Tapi kita menikmati argumentasi para ulama klasik itu dan kita salut dengan cara mereka mengajukan argumen.
Mendukung satu pendapat dalam mazhab Maliki tidak otomatis membuat kita pindah ke mazhab maliki. Pada topik lain boleh jadi kita mendukung mazhab Hanafi --dan toh ibadah ritual kita tetap berpatokan pada mazhab Syafi'i.

Indonesia di tahun 2016 ini meluas gerakan yang menganggap seolah mazhab-mazhab itu keliru semua dan yang benar adalah yang berpegang pada al-Qur'an dan Hadis yang sahih. Seolah para imam mazhab itu tidak merujuk kepada dua sumber utama tersebut. Kalau ada pendapat lain yang mereka belum pernah dengar mereka langsung vonis dengan berbagai label: JIL, syi'ah, dll

Ada apa dengan Indonesia tahun 2016 ini? Kenapa mereka begitu mudah menyalahkan pendapat orang lain. Bahkan pendapat yang dilontarkan oleh otoritas keagamaan seperti guru besar keislaman, para ulama yang santun dan samudera ilmu, para kiai pengasuh pondok, langsung dilecehkan kalau mereka tidak setuju dg pandangan para guru besar dan ulama tsb. Tidak ada sikap hormat sama sekali.

Kata mereka toh para profesor dan ulama itu manusia biasa yang bisa salah. Iya betul para tokoh itu bisa saja salah, tapi dibanding keilmuan para ulama dan profesor tsb kita ini bisa apa? Kalau toh berbeda pandangan tetaplah bantah dg santun dan argumentatif. Tapi Indonesia tahun 2016 ini tidak butuh argumen. Yang ada adalah caci maki hanya karena kita berbeda pandangan.



Masalah sunni-syi'ah sudah demikian parah diskusinya saat ini. Ini jelas berbeda tahun 90-an saat kita kuliah dulu dimana kita bisa berdiskusi santai tentang Syi'ah baik dari sudut Ushul al fiqh maupun fiqhnya. Sekarang kita harus siap dimaki-maki di media sosial dan kena tuduhan syi'ah atau liberal.

Bahkan pernyataan seorang Syekhul Azhar pun dilecehkan oleh anak kemarin sore. Pernyataan otoritas keilmuan tertinggi di dunia Sunni itu diplintir kesana kemari sesuai kepentingan masing-masing. Buat kita alumni PMH, pernyataan Syekhul Azhar itu pernyataan standar yg dikeluarkan oleh seorang alim.

Dulu kita membahas berbagai ide pembaruan hukum Islam dengan serius dan semangat. Pemikiran para tokoh yang terkadang aneh bin ajaib itu kita bahas untuk memahami argumen mereka; bukan mencari-cari kesalahan mereka. Diskusi di luar kelas, khususnya di forum diskusi juga ramai. Duduk lesehan sambil menghisap rokok dan berdebat panjang dengan kawan di kost itu hal biasa buat kita di tahun 90-an.
Beruntunglah kita mengalami masa-masa itu kawan. Indonesia tahun 2016 tidak sama dengan saat kita dulu belajar di jurusan PMH.
Tabik,

Nadirsyah Hosen
Alumni Perbandingan Mazhab dan Hukum
IAIN Syarif Hidayatullah yang sekarang mengajar di Monash Law School

0 komentar: