Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz Ahmad Sarwat yang dirahmati Allah. Dua pertanyaan sebelumnya bicara tentang pengertian fatwa dan hukum berfatwa serta keutamaannya. Yang saya tanyakan sekarang adalah apakah berfatwa ini boleh dilakukan oleh sembarang orang?
Sebab setahu saya, untuk boleh berfatwa maka seseorang itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Mohon penjelasan yang lebih dalam dan terima kasih.
Wassalam
Ustadz Ahmad Sarwat yang dirahmati Allah. Dua pertanyaan sebelumnya bicara tentang pengertian fatwa dan hukum berfatwa serta keutamaannya. Yang saya tanyakan sekarang adalah apakah berfatwa ini boleh dilakukan oleh sembarang orang?
Sebab setahu saya, untuk boleh berfatwa maka seseorang itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Mohon penjelasan yang lebih dalam dan terima kasih.
Wassalam
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Namun meski memberi jawaban syar’iyah atas pertanyaan orang-orang itu hukumnya wajib dan mendapatkan pahala yang besar, sementara menyembunyikan ilmu itu hukumnya dosa, bukan berarti setiap orang boleh memberikan jawaban seenaknya.
Maka pada dasarnya, tidak semua orang wajib menjawab pertanyaan, tidak setiap muslim berhak menjadi mufti. Orang yang tidak punya kapasitas ilmu yang memadai, justru diharamkan berfatwa. Sebab fatwanya bukan menjadi petunjuk agama, sebaliknya malah bisa jadi menyesatkan manusia.
Dalam kenyataannya, pemberian fatwa yang diharamkan ada beberapa jenis :
1. Sengaja Berniat Merusak Agama
Ada orang-orang yang secara sengaja berniat untuk merusak agama Islam, lewat fatwa-fatwa yang menyesatkan serta menjauhkan orang dari agama.
Di masa lalu fatwa yang haram ini misalnya fatwa-fatwa sesat yang disuntikkan oleh orang-orang zindiq, yang memang niatnya semata-mata ingin merusak agama. Termasuk fatwa sesat yang dikeluarkan kalangan Mu’tzilah yang berpaham bahwa dosa besar yang dilakukan seseorang langsung berakibat pada gugurnya status keislamamnya.
Di masa sekarang, contoh yang mudah adalah fatwa-fatwa yang diluncurkan oleh kalangan aktifis Islam Liberal, yang berfatwa bahwa semua agama sama. Lewat agama manapun, dalam pandangan sesat kelompok ini, tiap orang akan mendapatkan ridha dari Allah dan akan masuk ke dalam surga yang sama.
Maka nanti di surga, para pendeta, bikshu, rahib dan ulama akan bersama-sama menempati surga yang satu. Orang-orang seperti ini, memang niatnya ingin merusak, atau seperti yang diistilahkan di dalam Al-Quran, mereka ingin meredupkan bahkan memadamkan cahaya Allah lewat fatwa-fatwa sesat mereka.
يُرِيدُون أن يُطْفِؤُواْ نُور اللّهِ بِأفْواهِهِمْ ويأْبى اللّهُ إِلاّ أن يُتِمّ نُورهُ ولوْ كرِه الْكافِرُون
Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS. At-Taubah : 32)
Namun Allah tetap akan membela agamanya dari fatwa-fatwa sesat orang-orang yang hatinya kotor penuh dengan debu kekafiran. Namun kalau mereka beragama Islam, mari sama-sama kita doakan agar Allah SWT melapangkan hati mereka dengan cahaya-Nya yang tidak pernah padam.
Dan alangkah banyaknya mereka yang dulu sempat ikut paham liberal, kini sudah kembali ke jalan yang benar karena hidayah Allah. Apabila Allah sudah memberi hidayah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya.
2. Kurangnya Ilmu
Fatwa yang menyesatkan boleh jadi lahir bukan karena ingin merusak agama. Malah kadang justru datang dari motivasi yang baik, yaitu ingin berdakwah untuk agama dan membela tegaknya hukum Allah.
Namun karena yang memberi fatwa ini bukan orang yang ahli di bidangnya, maka fatwa yang keluar dari dirinya justru menyesatkan orang lain. Dan penyebab utamanya bukan sama sekali tidak punya ilmu,tetapi ilmu yang ada kurang jumlahnya.
Pemandangan seperti inilah yang justru saat ini seringkali kita saksikan, baik secara langsung atau pun lewat media televisi.
Hampir setiap hari kita menyaksikan orang-orang dengan kapasitas seadanya, menjawab banyak pertanyaan yang fatal, karena terkait dengan hukum halal dan haram, tapi dijawab dengan sekenanya, tanpa merujuk kepada dalil-dalil syar’iyah yang baku, dan tanpa merujuk kepada pendapat para fuqaha yang muktamad.
Maka sudah ada tegas peringatan untuk tidak sembarangan memberi fatwa, kalau bukan memang orang yang ahli di bidangnya. Sebab pertanggung-jawabannya cukup besar, yaitu api neraka. Rasulullah SAW telah mengancam dalam sebuah hadits bahwa :
إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para tokoh yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.
Di akhirat, mereka yang berfatwa seenaknya saja dengan berani tanpa dasar ilmu syariah yang kokoh, diancam dengan api neraka. Rasulullah SAW mewanti-wanti dalam sabdanya :
أجْرؤُكُمْ على الْفُتْيا أجْرؤُكُمْ على النّارِ
Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka (HR. Ad-Darimi)
Diriwayatkan dari Sufyan dan Sahnun, bahwa mereka pernah berkata :
أجْسرُ النّاسِ على الْفُتْيا أقلُّهُمْ عِلْمًا
Orangyang paling banyak berfatwa pertanda mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya.
Al-Atsram pernah berkata :
سمِعْتُ أحْمد بْن حنْبلٍ يُكْثِرُ أنْ يقُول : لا أدْرِي
Saya seringkali mendengar dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau berkata,”Saya tidak tahu”.
Demikian sekilas tentang syarat untuk menjadi mufti atau pemberi fatwa. Bukan syarat yang mudah dan harus ditempuh lewat jalur pendidikan yang khusus tentunya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA